Jumat, 11 September 2009

Ribuan Pekerja Gudang Garam Terancam PHK


Selasa, 07 Juli 2009

KEDIRI--Ribuan pekerja PT Gudang Garam Tbk di Kediri, Jawa Timur, terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena manajemen perusahaan rokok itu belum juga menandatangani perjanjian kerja bersama (PKB) yang telah berakhir sejak 2008.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Gudang Garam, Imam Muhri, Senin mengemukakan, status pekerja Gudang Garam sampai sekarang belum jelas, PKB yang berakhir 26 Juni 2008 lalu belum diperbarui.

Ia menyesalkan sikap perusahaan yang seolah tidak mempedulikan nasib pekerja yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Perushaan beralasan sedang sibuk mempersiapkan perayaan hari ulang tahun ke-51.

Pekerja sudah berusaha menemui manajemen perusahaan dengan melibatkan sejumlah asosiasi pekerja seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Buruh Muslimin Seluruh Indonesia (Sarbumusi), Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), dan Serikat Buruh Gema Nusantara (SBGN).

Selanjutnya manajemen Gudang Garam meminta perwakilan dari seluruh serikat pekerja untuk koordinasi, yaitu masing-masing dari SPSI, Sarbumusi, KBKI, dan FNPBI.

Dari masing-masing serikat pekerja yang hadir, perwakilan dari SBGN memilih mundur dan mengajukan kesepakatan kerja sendiri.

"Hal itulah yang membuat kesepakatan dengan pihak manajemen menjadi buntu. Bahkan, hingga kini belum tuntas," katanya.

Pihaknya juga minta bantuan Wali Kota Kediri untuk menyelesaikannya. Wali Kota juga enggan membantu dengan alasan tidak dapat memberikan keputusan tanpa rekomendasi Direktorat Jenderal Tenaga Kerja di Jakarta.

Direktur SDM Gudang Garam FX Suyanto mengatakan, pihaknya tidak dapat menindaklanjuti kasus tersebut karena masih terjadi perselesihan di antara mereka.ant/kem

Depnakertrans Bantah Tolak Adopsi Konvensi tentang PRT

Jumat, 21 Agustus 2009

JAKARTA--Depnakertrans membantah bahwa instansi itu menolak mengadopsi Konvensi ILO mengenai pembantu rumah tangga (PRT) sebagaimana yang dikatakan Kepala BNP2TKI, M. Jumhur Hidayat.

Siaran pers Depnakertrans yang diterima di Jakarta, Jumat, menanggapi pernyataan Jumhur yang menyesalkan bahwa Depnakertrans enggan mengadopsi Konvensi ILO mengenai PRT.

Pusat Humas Depnakertrans menjelaskan bahwa standar internasional mengenai (PRT) akan menjadi agenda pada Sidang Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Conference/ILC) di Jenewa pada tahun 2010.

Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dideklarasikan di New York pada 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum pada 1 Juli 2003.

Sebagai bagian dari anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi ini pada 22 September 2004, namun penandatanganan bukan berarti meratifikasi.

Sampai saat ini, negara yang meratifikasi konvensi Buruh Migran sekitar 35 negara, dan di wilayah ASEAN baru negara Philipina (negara pengirim TKLN), sedangkan negara tujuan penempatan TKI belum ada yang meratifikasi.

Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi itu dengan pertimbangan, apabila konvensi itu diratifikasi maka hanya akan melindungi pekerja migran dan anggota keluarganya di Indonesia, dan pengesahan ini tidak bisa menjangkau perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan.

"Konvensi ini akan mempunyai makna apabila negara tujuan penempatan juga meratifikasi konvensi ini, sehingga berlaku asas resiprokal," kata Kepala Pusat HUmas Depnakertrans Sumardoko.

Ketentuan yang diatur di dalam Konvensi Buruh Migran antara lain perlindungan hak berserikat bagi pekerja migran, tidak boleh mem-PHK pekerja migran, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migran.

"Dengan demikian substansi Konvensi Buruh Migran tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," kata Sumardoko.

Selain itu Konvensi Buruh Migran juga memiliki kelemahan yaitu tidak mengatur perlindungan kepada tenaga kerja perempuan, sedangkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan. Sehingga dalam melakukan pemahaman terhadap ketentuan Konvensi Buruh Migran harus lebih hati-hati.

Pada 9 Juli 2009, Depnakertrans telah melakukan pertemuan antardepartemen membahas Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dengan mengundang Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Kabinet dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.

Rekomendasi yang disampaikan bahwa Konvensi Buruh Migran masih memerlukan kajian lebih mendalam dengan tetap mempertimbangkan prinsip Kehati-hatian sebelum dilakukan pengesahan.

Hasil Rakor pelaksanaan RAN-HAM di Cisarua tanggal 3-4 April 2008 yang diprakarsai oleh Ditjen HAM, menyatakan ratifikasi terhadap Konvensi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya belum mendesak, karena itu perlu pengkajian yang lebih mendalam, prinsip kehati-hatian, dan benar-benar memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia.

Dalam draft RAN-HAM yang ke-3 (ketiga) Tahun 2010 hingga 2014, konvensi buruh migran kembali dicantumkan untuk diratifikasi, namun dalam urutan terakhir (tidak jadi prioritas untuk diratifikasi).

Terkait dengan instrumen standar ketenagakerjaan internasional yang akan dibahas dalam agenda sidang ketenagakerjaan internasional (international labour conference/ILC) tahun 2010 yaitu pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga (Decent Work for Domestic Worker), kata Sumardoko, maka Pemerintah Indonesia telah melakukan pembahasan dan menyampaikan dukungan terhadap instrument standar internasioal tersebut dalam bentuk rekomendasi.

"Hal ini menunjukkan kepada dunia internasional mengenai adanya kemauan politik Pemerintah Indonesia dalam hal pengaturan dan perlindungan PRT secara internasional," katanya. Adapun pertimbangan standar internasional mengenai pekerja rumah tangga dalam bentuk rekomendasi, bahwa Rekomendasi ILO merupakan pedoman bagi negara anggota untuk menyusun suatu kebijakan nasionalnya dan sifatnya tidak mengikat. ant/pur

Delapan Organisasi Serikat Pekerja Dukung SBY-Boediono


Rabu, 24 Juni 2009

JAKARTA--Sebanyak delapan organisasi serikat pekerja dan buruh tingkat nasional yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja Indonesia (ASPI) menyatakan dukungannya kepada pasangan SBY-Boediono. Pernyataan dukungan disampaikan Koordinator ASPI, Bambang Wirayoso, bersama Ketua Dewan Pembina ASPI, Soeripto, kepada Sekretaris Tim Sukses SBY-Boediono di Jakarta, Rabu (24/6).

Soeripto yang juga anggota Fraksi PKS mengatakan, dukungan ASPI terhadap SBY-Boediono bukanlah dukungan emosional yang tidak dilandasi dengan alasan-alasan logis. "Kami mendukung karena pasangan ini mempunyai komitmen terhadap para pekerja dan buruh di Indonesia," ujar Soeripto.

Dia melanjutkan, komitmen SBY-Boediono terhadap kaum pekerja dan buruh telah ditunjukkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini dijalankan. Mulai regulasi atau undang-undang tenaga kerja sampai pada bentuk perlindungan terhadap kaum buruh, sudah terlaksana dengan baik selama lima tahun terakhir.

"Kalau ada kekurangan, ya wajar. Kekurangan itulah yang akan kita perbaiki dalam kelanjutan pemerintahan SBY mendatang," imbuh Soeripto.

Bambang Wirayoso menambahkan, kecuali regulasi, SBY juga telah membentuk sebuah badan atau komisi nasional yang berfungsi mengawasi masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Selama memegang kendali pemerintahan, kata Bambang, SBY pun sudah menjadikan keberadaan PT Jamsostek menjadi lembaga yang memberikan kesejahteraan para pekerja maupun buruh dengan konsep Wali Amanah.

"Pemerintahan SBY juga terbukti telah menjamin sepenuhnya hak-hak pekerja untuk menjalankan hak kebebasan berserikat. Inilah mengapa kami mendukung SBY-Boediono," tandas Bambang. ade/rif

Serikat Pekerja di Era Kejayaan Islam


Pesatnya peradaban Islam di era keemasan tak lepas dari dukungan dan kerja keras para pekerja dan buruh. Secara khusus, Prof Ahmed Y al-Hassan dan Dr Donald R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History mengkaji peran para buruh dan pekerja pada masa kejayaan peradaban Islam.''Kajian tentang buruk dan pekerja dalam peradaban Islam memberikan hasil yang sangat menarik,'' tutur al-Hasan dan Hill. Menurut al-Hassan, dalam budaya Islam terdapat rasa hormat yang sama terhadap semua jenis pekerjaan, usaha dan pertukangan. Pada masa itu, terampil membuat sebuh barang menjadi sebuah kebanggaan.Seorang pekerja yang terampil sangat dihargai. ''Tak heran, jika seorang ayah selalu berambisi agar anaknya kelak memiliki kecakapan dalam salah satu bentuk keterampilan,'' imbuh al-Hassan. Dalam bahasa Arab, kata untuk pertukangan, profesi dan industri diturunkan dari akar kata sn' yang memiliki konotasi dasar 'membuat' atau 'manufaktur'. Tukang disebut sani' , sedangkan arti kata san'a adalah 'manufaktur', dan sina'a sering digunakan untuk menunjuk sebuah profesi atau bidang usaha. Contohnya, sebuah sebuah dermaga kering tempat pembuatan kapal disebut rumah sina'a atau dar al-sina'a. Peran para tukang, buruh dan pekerja dalam membangun kota-kota Islam sungguh sangat besar. Tak heran jika peradaban Islam ditandai dengan munculnya kota-kota besar. ''Baghdad, misalnya sempat menjadi kota terbesar di dunia, dengan jumlah populasi mencapai 1,5 juta jiwa,'' papar al-Hassan dan Hill.Berkat kinerja para buruh dan pekerja yang sangat luar biasa, kota-kota Islam lain pun berlomba menjelma menjadi metropolitan. Saat itu, tak ada satu kota pun di Eropa selain Istanbul yang mampu menyaingi kota-kota di dunia Islam. Menurut al-Hassan, sebagian besar penduduk yang tinggal di kota-kota Islam adalah pembuat berbagai jenis kerajinan tangan dan perdagangan.Yang menarik lagi, di kota-kota Islam di Timur sudah terdapat organisasi sosial seperti futuwwah . ''Anggotanya terutama anak-anak muda dari kelas pekerja,'' cetus al-Hassan. Sebuah futuwwah , biasanya memiliki pengaruh yang kuat di kalangan para pekerja. Organisasi semacam ini, kata al-Hassan, kadang-kadang menampakkan semaca oposisi terhadap perbedaan kelas.Anggota ...

Kamis, 10 September 2009

Serikat Pekerja Jabar Serukan Golput


By Republika Newsroom
Senin, 22 September 2008

BANDUNG – Sejumlah elemen masyarakat di Jawa Barat diantaranya serikat pekerja menyerukan golput dalam pemilihan presiden 2009. Pasalnya hingga kini tak satu pun partai politik yang pro masyarakat. Demokrasi yang dijunjung pun adalah demokrasi kaum borjuis.

‘’Semua parpol menyetujui UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,’’ ujar Koordinator Wilayah Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jabar, Sudaryanto, dalam acara dialog bersama Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), di Gedung IKA Unpad Bandung, Senin (22/9).

Sudaryanto menjelaskan, UU tersebut mendukung adanya kontrak, outsourching yang merupakan awal dari kesengsaraan kaum buruh. Belum lagi persoalan upah yang tak kunjung selesai.

Upah, sambung Sudaryanto adalah hak kaum buruh atau pekerja sebagai imbalan dalam bekerja. Upah yang diberikan kaum buruh haruslah memenuhi kebutuhan pokok/dasar yang diperlukan bagi diri buruh maupun keluarga, baik fisik maupun psikologis. Upah juga seharusnya dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal, makanan, pakaian, kesehatan dan pendidikan. Karena selama ini, upah yang diterima masih sangat jauh dari kebutuhan layak yang diperlukan oleh kaum buruh.

Selain serikat pekerja, mahasiswa dan lembaga kajian mahasiswa dari beberapa universitas pun menyerukan hal yang sama. Mereka menilai pendidikan kini sudah dikomersialisasikan. ‘’Sekarang biaya mengakses lembaga pendidikan semakin mahal,’’ ujar Ketua Umum Mahasiswa untuk Demokrasi (KMD), Samuel David.

Samuel mengungkapkan, bentuk komersialisasi pendidikan, tak hanya pendidikan yang mahal, namun tidak gratisnya penggunaan fasilitas lembaga pendidikan seperti aula, praktikum, dan lainnya. Hal ini tentu saja memberatkan masyarakat Indonesia untuk mengakses pendidikan. Persoalan tersebut baru dari dua bidang belum dari bidang lainnya.

Untuk itu, pihaknya akan mewacanakan golput. Salah satu caranya adalah menggelar kajian inliah di kampus ataupun sejumlah diskusi. Pihaknya tidak akan memaksa masyarakat untuk golput hanya menjelaskan kenapa golput. Karena memilih dan dipilih adalah hak rakyat.

Staf Divisi Perburuhan LBH Bandung, Canggih Prabowo mengatakan dari sisi aturan, meskipun UU Pemilu dilakukan perbaikan beberapa kali namun makin menyulitkan posisi rakyat. Bahkan pada proses tim akademisi draft UU Pemilu, dari 2.200 daftar inventaris masalah hanya empat yang diubah, selebihnya diabaikan.

‘’Sistem pemilu hanya memberikan ruang terhadap para pemilik modal dan kroninya,’’ cetus dia. Itu bisa terlihat dari rekam jejak para politisi aktifis parpol. Rekam jejaknya mencatat mayoritas masih bagian dari orde baru. Yakni sebuah sistem otoriter dan kekuasaan politik yang memulai kolaborasi dengan pemodal internasional melalui kerja sama dengan IMF, WB, WTO, dan lainnya. ren/pt